Selasa, 05 Januari 2010

KECELAKAAN DI SUMUR MIGAS


Di Indonesia menurut catatan penulis dari tahun 1970 hingga 2006 setidaknya telah terjadi blowout sebanyak 17 kali, sehingga hampir setiap 2-3 tahun terjadi kecelakaan blowout pada saat pemboran sumur migas. Bila kegiatan pemboran 300-350 sumur setiap tahun, maka berarti setiap 1000 sumur terjadi 1 kali kecelakaan blowout atau setara dengan sepermil (1:1000). Dan sejarah menunjukan bahwa seluruh kecelakaan blowout selalu dapat ditanggulangi. Cepat atau perlu waktu yang lama, tergantung masalah yang dihadapi.
Faktor alamiah dalam kecelakaan


Blowout adalah proses saat fluida formasi (bawah tanah) keluar ke permukaan tidak terkontrol. Biasanya dimulai dengan masuknya fluida (air, minyak, atau gas) ke dalam lubang sumur yang sedang dibor, yang dikenal dengan istilah kic. Kemudian, kick yang tidak bisa dikontrol akan mengakibatkan fluida mengalir sampai ke permukaan yang dikenal sebagai blowout.
Sebenarnya pada saat kick terdeteksi, setiap ahli pemboran sudah dibekali dengan keterampilan untuk menghentikannya yaitu dengan menggunakan metoda Pressure Control. Namun kick seringkali datang dalam waktu yang sangat cepat dan kadang-kadang tanda-tandanya sangat sulit untuk terdeteksi secara dini.

Faktor alamiah saat pemboran dilakukan justru sangat dominan dalam kasus kick ini, karena pada saat akan mulai pemboran para pekerja hanya dibekali dengan prediksi yang dibuat ahli geologi dan geofisika tentang lapisan batuan yang akan ditembus, baik kualitas maupun perkiraan tekanannya. Karena itu kecelakaan kick dan blowout tetap saja terjadi dan mungkin tetap akan terjadi pada pemboran-pemboran sumur migas berikutnya.

Mengapa perlu Pemboran
Ketika bangsa ini mulai tumbuh melalui Repelita di awal tahun 70-an, devisa dari minyak dan gas merupakan motor penggeraknya. Begitu pula ketika hutang harus dibayar dan krisis moneter menerpa, maka migas salah satu tulang punggung andalannya.
Untuk dapat memproduksi migas, satu-satunya cara adalah membuat lubang dari permukaan sampai sumber migas tersebut. Kemudian cadangan migas bisa dimiliki dan pada akhirnya menjadi devisa. Sebagai gambaran, bila tahun ini sumur dibor 300-350 buah, mungkin hanya 50-100 buah saja yang berpotensi dan itupun baru bisa diproduksikan 5-10 tahun kemudian setelah secara ekonomis bisa diproses dan dijual. Sehingga bukan tidak mungkin, walaupun sudah dilakukan pemboran, maka sumur tersebut ditutup karena tidak ada isinya, atau tidak ekonomis untuk diproduksi. Bisnis migas adalah bisnis yang beresiko finansial tinggi. Jadi pekerjaan pemboran hari ini, akan menjadi jaminan 10-20 tahun ke depan untuk mendapatkan devisa dari migas.
Penutup
Pemboran tidak harus dilarang di tempat sulit sekali pun, seperti di tempat yang penuh penduduk, namun pemboran di tempat sulit harus dilakukan dengan standar keselamatan dan keamanan yang tinggi, sehingga selain meningkatkan keselamatan bagi para pekerja juga bagi lingkungan sekitar, termasuk penduduk.
Namun tentunya perbaikan harus terus diusahakan, mulai dari peralatan yang baik, sampai pekerja yang memiliki keterampilan dan bersertifikat. Sehingga selama para pekerja melakukannya sesuai kaidah keteknikan yang benar, walaupun terjadi kecelakaan tetap mereka tidak pantas untuk menanggung akibatnya secara pribadi, karena faktor alam yang penuh dengan resiko sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pemboran migas.
Begitu pula sebaliknya, disengaja atau kecelakaan, apabila mengakibatkan pihak lain terugikan, maka tentunya harus bertanggung-jawab secara penuh, baik yang bersifat finansial langsung maupun kerusakan lingkungan. Hukum lindung lingkungan harus ditegakkan, agar masyarakat terlindungi, namun pekerja sebagai pahlawan tanpa tanda jasa pun harus dilindungi dari profesinya.
http://migasnet01wahyu706.blogspot.com/2009/06/kecelakaan-di-sumur-migas-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar