Minggu, 10 Januari 2010

Era Baru Minyak – Ada Apa Di Bawah Kita?



Tidak perlu dipertanyakan lagi, kita telah memasuki sebuah era melambungnya harga energi yang telah menghasilkan sebuah ledakan inovasi baru, dan kemunduran konsumsi. Seberapa radikal perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi? Jawabannya tergantung sebagian besar pada seberapa banyak minyak yang benar-benar dikandung bumi. Tetapi jangan salah: minyak itu ada banyak. Ini adalah era baru minyak, bukan berakhirnya minyak sebagaimana sering kita dengar.

Seberapa banyak minyak yang ada di bawah lapisan kerak Bumi? Satu-satunya yang kita tahu dengan pasti adalah bahwa sejarah telah dikotori oleh perhitungan-perhitungan yang jauh dari nilai sebenarnya –biasanya di bawah nya– yang mereka putuskan secara menggelikan. Pada tahun 1920an, sebagai contoh, Anglo-Persian Corporation (sekarang British Petroleum) menolak untuk bertaruh investasi di Arab Saudi, karena berpikir bahwa negeri tersebut tidak mengandung satu tetes pun minyak. Pada tahun 1919, Survey Geologis AS (USGS) memperkirakan bahwa AS akan kehabisan minyak dalam jangka waktu sembilan tahun. Akan tetapi setelah sembilan tahun itu terlewati, penemuan-penemuan besar, yang sebagian besarnya ada di ladang Raksasa Hitam di Texas, telah menciptakan kelebihan suplai minyak yang sangat besar yang hampir menghancurkan industri. Pada tahun 1970an, konsensus perminyakan berubah menjadi suram kembali: produksi minyak akan mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 1980an dan kemudian jatuh dengan cepat. Sebuah laporan terkenal dari CIA memperkirakan “cepat habisnya” ladang-ladang yang telah diakses, sementara Presiden Jimmy Carter memperingatkan bahwa sumur-sumur minyak telah “mengering di seluruh dunia.” Akan tetapi, pada tahun 1986, harga minyak jatuh di tengah booming suplai yang besar, sebagaimana ia (booming suplai) telah sering terjadi sebelumnya.

Kini ramalan hari kiamat datang kembali, memprediksikan habisnya minyak pada dekade ini atau dekade mendatang. Keputusan para ahli bencana baru ini terlihat lebih menyakinkan karena mereka menggunakan model-model statistik dan peluang yang muncul untuk memasuki misteri-misteri tanah bagian bawah planet kita. Faktanya, mereka tidak melakukan itu. Secara garis besar, semakin sedikit yang kita ketahui tentang sumber daya bawah tanah dunia semakin membenarkan pandangan-pandangan positif di masa depan.

Berdasarkan sejarah, harga minyak yang tinggi telah selalu membawa investasi besar dan penurunan konsumsi, dan hal inilah tepatnya yang kita saksikan pada hari ini. Para investor mengucurkan ratusan milyar dollar pada sektor energi, dari minyak konvensional hingga minyak non-Konvensional (seperti tar sand– Batuan pasir yang memiliki berat molekuler hidrokarbon tinggi yang darinya dapat dihasilkan produk2 minyak, dan shale oil­–minyak mentah yg didapat dari destilasi sedimentasi batu dan lumpur) hingga alternatif substitusi minyak, dari gas alam hingga biofuel dan batu bara tercairkan. Dengan kata lain, harga tinggi bukan berarti kabar buruk bagi ekonomi global, karena ia telah memacu inovasi dan efisiensi senyampang mendorong konservasi. Di negara-negara industri, perkiraan pertumbuhan permintaan minyak semakin turun pada tahun 2006 dan dapat saja menjadi stabil, bahkan ketika para pengemudi di Amerika membalikkan punggung mereka pada mesin-mesin yang rakus gas.

Tetap saja, tidak ada seorang pun yang dapat yakin seberapa lama era ini akan berakhir. Terberi dengan keacuhan mendasar atas apa yang ada di bawah kita, taruhan terbaik adalah bahwa pasar minyak akan tetap bersiklus, dengan ciri khas periode-periode boom-and-bust (berubah-ubah dari pertumbuhan-resesi-tumbuh lagi-dst) selama berdekade. Kita saat ini sedang berada pada periode minyak harga mahal yang hampir sama dengan periode tahun 1970an, akan tetapi memang ada beberapa perbedaan kritis. Hari ini lebih dari 90 persen cadangan minyak berada di bawah kendali negara-negara produsen, kebanyakan menganut kebijakan nasionalisme sumber daya. Ditujukan untuk mempertahankan harga, kecenderungan nasionalis ini dapat menghentikan perkembangan baru. Ia juga dapat meningkatkan tekanan yang sudah berkembang, yang dapat kita lihat di antara negara-negara produsen dan konsumen, mengadu Barat dengan Rusia, AS dengan Venezuela, dan yang lainnya. Sederhananya, permasalahan minyak bukan berada di bawah permukaan bumi, tetapi justru di atasnya.

Akan tetapi persepsi bahwa kita sedang kehabisan minyak telah menguasai sebagian besar psikologis umum dengan kuat, maka sangatlah penting untuk mengoreksinya. Alasan mengapa kita melihat banyak sekali perhitungan (tepatnya tebakan) yang buruk adalah dikarenakan teknologi paling maju sekalipun tidak dapat memberitahu kita seberapa banyak bahan mentah yang dimiliki Bumi. Tidak ada metode yang telah dipikirkan untuk mencari cadangan-cadangan baru dengan presisi, atau bahkan untuk mengukur ukuran sesungguhnya dari kolam-kolam deposit yang sudah diketahui. Sementara pandangan mainstream adalah bahwa sumber daya minyak bersifat terbatas, akan tetapi tidak ada yang tahu seberapa terbatas minyak itu. Dan untuk menambah komplikasi permasalahan ini, kita menyaksikan sebuah kebangkitan kecil baru tentang ketertarikan terhadap sebuah teori tua dari Rusia yang menyatakan bahwa minyak dapat dihasilkan dari reaksi-reaksi kimia di bagian terdalam Bumi, bukan dari pembusukan fossil yang berada di dekat permukaan. Hal ini masihlah suram tetapi menggugah raya ingin tahu akan prospek bahwa minyak mungkin saja merupakan sumber daya terbarukan. (Lihat wawancara dengan Dudley Herschbach, penerima penghargaan Nobel, untuk mendapatkan perspektif kritik)

Bahkan teori fossil standar masih menyisakan banyak misteri. Ia melacak asal mula minyak pada kematian dan pembusukan organisme, yang ditutupi selama bermilenium oleh lapisan-lapisan sedimen dan batu, lalu secara bertahap merembes semakin ke dalam Bumi hingga mereka menabrak sebuah barier batu yang tidak dapat ditembus, sekitar antara 2.100 hingga 4.500 meter di bawah Bumi. Di sana, tekanan dan suhu tinggi memantik reaksi kimia yang mengubah sedimentasi organik menjadi minyak dan gas. Minyak terjebak di dalam sel-sel yang amal kecil dari pori-pori bebatuan sub-Permukaan di dalam bagian yang disebut kolam-kolam endapan (sedimentary basins). Sejauh ini, hanya sekitar 30 persen dari kolam-kolam endapan yang diyakini ada yang telah dieksplorasi dengan cukup baik.

Bahkan teknologi paling maju untuk memetakan lapisan subsoil (lapisan tanah sebelah bawah) –didasarkan pada refleksi seismik 3D– hanya menunjukkan peluang adanya deposit-deposit hidrokarbon. Meski metode-metode seismik kadang kala dibandingkan dengan pengamatan suara ultra medis (medical ultrasound scans, USG), yang dapat menghasilkan citraan rahasia-rahasia di dalam tubuh manusia, tetapi keduanya tidak sama dalam hal hasil citraan yang benar-benar jelas (USG lebih jelas). Gelombang-gelombang seismik memantul dari lapisan terdalam dari subsoil dan hanya membawa kembali jejak yang kemudian diproses melalui perangkat lunak komputer yang rumit untuk menghasilkan citraan yang rudimenter (belum sempurna), yang terbuka terhadap berbagai interpretasi. Metode ini masih relatif baru dan sangat mahal, dan mungkin tak berfaedah jika, sebagai contoh, formasi garam menutup gelombang seismik. Sejauh ini ia hanya baru diaplikasikan pada beberapa kolam-kolam endapan saja. Singkatnya, kedalaman pengetahuan kita tentang geografi perminyakan adalah lebih dangkal ketimbang pengetahuan yang kita miliki mengenai topografi bawah samudera, di mana peta-peta kita masih sebagian besar digubah oleh para seniman yang aneh.

Hanya sumur-sumur eksplorasi yang dapat menyediakan indikasi-indikasi yang lebih tepat mengenai apa yang ada di bawah Bumi. Tetapi eksplorasi melalui sumur-sumur tidaklah lebih luas daripada yang dipikirkan orang, dan berdasarkan sejarah ia berpusat hanya di Amerika Utara. Pada tahun 1930an, para wildcatter (sebutan bagi para pencari prospek minyak di wilayah yang terkenal banyak minyaknya) menggali di semua tempat di kota-kota minyak seperti Kilgore dan Texas di mana mesin-mesin kerek bahkan didirikan di halaman gereja. Semua mengatakan, sekitar satu juta sumur eksplorasi telah dibor di Amerika Serikat, sementara hanya 2.000 sumur saja di Teluk Persia, dan 300 di antaranya ada di Arab Saudi.

Bahkan hari ini, lebih dari 70 persen aktivitas eksplorasi dikonsentrasikan di Amerika Serikat dan Kanada, yang keduanya menampung hanya sekitar tiga persen cadangan minyak dunia. Kebalikannya hanya tiga persen sumur eksplorasi yang dibor antara 1992-2002 yang ada di Timur Tengah, wilayah yang menampung lebih dari 70 persen minyak dunia. Lebih jauh, analisis catatan-catatan inti dari sumur-sumur eksplorasi dapat membawa para ahli pada kesimpulan yang berlawanan. Pada awal tahun 2000, Shell dan partnernya dalam proyek eksplorasi di India, Caim Energy, berselisih atas apakah catatan-catatan inti mengindikasikan adanya minyak. Shell menyerahkan area tersebut pada Caim, yang semenjak itu menemukan antara 380 juta hingga 700 juta barrel minyak.

Maka, eksplorasi minyak masihlah bergantung pada penilaian manusia. Pada saat yang sama, perolehan minyak dari ladang-ladang minyak yang telah diketahui mungkin malah menawarkan kejutan-kejutan yang mengagetkan. Terberi dengan sifat alamiahnya yang kompleks, sebuah kolam deposit akan selalu menjebak minyak, bahkan setelah pengeboran yang lama dan intensif. Hal ini berarti ladang-ladang yang tidak lagi memproduksi minyak, dan dipandang telah habis, masih mengandung lebih atau sedikit suplai hidrokarbon yang mudahnya tidak dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi saat ini atau tidak dengan cara yang efektif biaya.

Hari ini tingkat perolehan rata-rata minyak adalah sekitar 35 persen dari “minyak yang diperkirakan ada,” yang berarti hanya sekitar 35 barrel dari 100 barrel yang bisa dibawa ke permukaan. Dan hanya sebagian dari 35 barrel ini yang dipandang sebagai “cadangan terjamin,” yang berarti minyak yang segera tersedia untuk produksi dan komersialisasi. Peran teknologi sangatlah kritis. Selama berdekade, teknologi telah memperluas kuantitas minyak yang dapat diekstraksi –melalui injeksi air dan gas alam, sebagaimana juga pengeboran horisontal, pematahan hidrolik dan lain lagi. Semua kemajuan ini telah mendorong tingkat rata-rata perolehan minyak, yang hanya sekitar 20 persen pada 30 tahun yang lalu, dan kurang dari 15 persen pada 60 tahun yang lalu. Pada masa depan, perolehan lebih jauh diharapkan datang dari teknologi-teknologi yang masih pada masa pertumbuhannya.

Sederhananya, metode-metode eksplorasi baru telah menaikkan cadangan minyak yang ada dari waktu ke waktu, bahkan tanpa perlu penemuan baru. Literatur perminyakan memberikan contoh yang banyak. Di antara yang paling mengherankan adalah ladang Sungai Kern di California, yang ditemukan pada tahun 1899. Pada tahun 1942 “sisa” cadangannya diperkirakan 54 juta barrel. Akan tetapi dari tahun 1942 hingga tahun 1986 ia telah memproduksi 736 juta barrel, dan masih memiliki 970 juta barrel “sisa.” Satu hal yang kita dapat yakin tentangnya adalah bahwa pengetahuan kita mengenai cadangan minyak masihlah mengalami revisi terus menerus, yang biasanya menaikkan jumlah cadangan tersebut. Oleh karena itulah, selama berdekade, semua upaya untuk mengevaluasi anugerah minyak di dalam planet kita terbukti masih terlalu konservatif, bahkan ketika perkiraan tersebut telah memasukkan asumsi peluang mengenai penemuan-penemuan di masa depan dan kenaikan di dalam tingkat perolehan.

Jadi, ada apa di bawah permukaan? Perkiraan terbaru dari peluang perolehan sumber daya minyak yang dibuat oleh International Energy Agency (IEA), yang didasarkan pada kerja USGS terdahulu, menunjukkan gambaran sekitar 2,6 trilyun barrel, sekitar 1,1 trilyun di antaranya dipandang sebagai cadangan terjamin. Sisanya terdiri dari sumber daya yang telah ditemukan tetapi belum dikembangkan, beserta asumsi-asumsi mengenai kenaikan tingkat perolehan dan besarnya ladang-ladang yang belum ditemukan di masa depan. Hari ini dunia mengkonsumsi sekitar 30 milyar barrel minyak per tahun, dengan proyeksi pertumbuhan kurang dari dua persen per tahun; hal ini berarti bahwa jika proyeksi IEA benar, maka terdapat cukup banyak minyak yang ada hingga abad ini berakhir.

Tebakan saya adalah bahwa masa tersebut akan lebih lama lagi. Gambaran di atas tidak mempertimbangkan tambahan perkiraan satu trilyun barrel minyak non-Konvensional yang secara teknis dapat diperoleh, seperti ultraheavy oil (suatu campuran hidrokarbon yang didestilasi dari belangkin (coal tar) yang teramat lebih berat daripada air), bituminous schist (batuan mineral dengan lapisan paralel yang mengandung bitumen/seperti aspal dan ter), dan tar sand. Produksi dari sumber-sumber tersebut semakin meningkat meski harganya naik dan ia adalah sumber baru, teknologi-teknologi efektif biaya telah membuatnya dapat diperjualbelikan. Terlebih, asumsi-asumsi peluang yang dibuat oleh IEA bisa jadi terlalu konservatif. Jadi, kita mungkin berada di dalam sebuah era baru –yang berarti sebuah periode harga tinggi yang, jika berlanjut lebih lama, dapat merubah pasar energi secara dramatis dan cara ia memberikan kekuatan-kekuatan kepada dunia. Tetapi ini adalah era baru minyak, bukan berakhirnya minyak sebagaiman yang kita kenal. Entah bagaimana, tidak di abad ini.

[Diadaptasi oleh Rizki S. Saputro dari Leonardo Maugeri dalam Newsweek 2007]

Maugeri adalah penulis buku “The Age of Oil: The Mythology, History and Future of the World’s Most Controversial Resource” (Praeger, 2006) dan senior vice president perusahaan minyak ENI.


http://rizkisaputro.wordpress.com/2007/10/25/era-baru-minyak-%E2%80%93-ada-apa-di-bawah-kita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar